KEGUNDAHAN
HATI
Meski
sudah mencurahkan isi hatinya pada sang suami, hatinya terkadang sesekali masih
sedih. Tak jarang pula Sovia meneteskan air mata ketika melihat pengumuman
bahwa dirinya belum dinyatakan sebagai peserta seleksi PPPK tahap satu. Setiap
ia bersedih ia kembali teringat pada wejangan sang suami yang mengatakan bahwa
dirinya haruslah ikhlas pada setiap apa yang Tuhan berikan. Tuhan pasti sedang
menyiapkan sesuatu yang indah untuk dirinya. Tak mudah memang untuk dirinya
berdamai dengan hatinya. Namun ia merasa bahwa ini mungkin sudah bagian dari
takdirnya. Setiap ia bersedih ia berusaha untuk terus beristigfar agar tak
memiliki perasaan buruk pada Tuhan yang telah menciptakan dan mengatur setiap
jengkal waktu yang ada.
Ia
mencoba berdamai pada dirinya, Sovia berfikir mungkin Tuhan telah marah
padanya, mungkin saja ibadahnya selama ini kurang pada-Nya, mungkin juga ia
kurang sedekah. Diraihnya sebuah tasbih digital, mulutnya mencoba membaca
dzikir dan sholawat, “siapa lagi yang bisa mengobati hati ini jika bukan diri
sendiri”. Begitu gumamnya dalam hati. Dengan berdzikir ia menjadi lupa akan
kesedihannya itu. Sejak sesekali ketika ia tengah berhenti membaca dzikir, ia
tengok handphone miliknya. Telegram adalah aplikasi yang saat ini memang sering
ia kunjungi setalah whatsap dan instagram. Dari ketiga aplikasi itulah ia
selalu berusaha terus mengikuti berita update tentang seleksi PPPK.
“Assalammu’alaikum,
selamat siang ibu. Perkenalkan saya Hasna dari Jepara. Sepertinya saya memiliki
kisah yang sama seperti ibu. Guru honorer SD negeri, terdaftar di dapodik tapi
tidak bisa mengikuti seleksi PPPK tahap 1. Apakah ibu sudah punya solusi dari
masalah ibu?” tiba-tiba ada pesan masuk dari sesama pengguna telegram dan
tampaknya ia juga anggota grup “Siap PPPK Tahap II”
“Wa’alaikumsalam,
iya Bu Hasna. Salam kenal Bu, Saya Sovia dari Pekalongan. Sementara saya belum
ada solusi Bu, sudah konsultasi ke Dinas katanya saya harus mengikuti apa yang
tertera dari Panselnas bu. Ibu sendiri bagaimana?” jawab Sovia pada sosok yang
belum begitu ia kenal.
Obrolanpun
berlanjut. Keduanya saling bercerita juga saling menguatkan satu sama lain.
Dari obrolan tersebut juga berdasar tanya sana sini, keduanya mengambil
kesimpulan, mungkin jawaban mereka tidak bisa ikut seleksi PPPK tahap 1 adalah
karena alasan mutasi dan mereka memilih formasi di sekolah induk yang baru. Hal
ini dilakukan karena secara administrasi keduanya memang telah melakukan mutasi
dan secara dapodik semuanya sudah dipindahkan di sekolah yang baru oleh
operator dinas kabupaten setempat. Sementara data yang digunakan oleh SSCASN
adalah data per-sebelum keduanya melakukan mutasi. Tak banyak yang tahu memang
tentang semua ini. Yang mengalami kisa seperti Sovia dan Hasna pun masih banyak
lagi. Mereka bertemu di grup telegram dan saling mencari update info.
Sovia
sudah ikhlas, dilaluinya aktifitasnya sebagai guru. Berusaha tersenyum dan
menyembunyikan kesedihanya. Tasbih digital tak pernah lepas dari jemarinya. Solat
malam pun terus ia lakukan. Berusaha mendekat dan terus bermunajat pada yang
kuasa.
Sesaat
keika jam istirahat, Sovia membuak sebuah aplikasi di handphonenya. Kali ini
facebooklah yang ia buka. Entah bagaimana, tiba-tiba tangannya berhenti
mengusap layar sentuh androitnya. Sebuah tulisan singkat membuatnya terdiam
sejenak.
“Perbaikilah
solatmu, maka Allah akan memperbaiki hidupmu”
Begitulah
sebuah salah satu update status dari salah satu temannya di facebook. Sebuah
pesan singkat yang sangat mengena
baginya saat ini. ia sejenak merenungkan diri, mencoba mengaitkan kalimat itu
pada dirinya sendiri.
“Ya,
mungkin memang ibadahku belum benar, Allah ingin aku lebih dekat dengannya. Apa
yang terjadi padaku saat ini tak luput dari pengawasannya sebagai pencipta. Aku
harus memperbaiki solatku, maka Allah pun akan memperbaiki hidupku. Terima
kasih ya Allah, engkau menyadarkan ku hari ini. mungkin saja ini teguran dari
Mu untukku. Jika aku bisa ikut seleksi PPPK tahap 1 dan lolos, mungkin aku akan
menjadi manusia yang sombong. Karena aku harus bersaing mengalahkan rekan dan memperebutkan
satu peluang dengan kakak seniorku Bu Ira yang lebih lama mengabdi dari aku.
Dan jika aku bisa ikut seleksi tahap 1 tapi tidak lolos, mungkin saja diriku
akan menjadi manusia yang lebih buruk dari hari ini. Hidup memang semua adalah
misteri. Mutasi memanglah pilihan yang tepat, dari pada aku dan Bu Ira harus
bersaing meperebutkan satu peluang yang sama. Kami tak ingin saling menyaingi,
kami berdua ingin sama-sama lolos dan menjadi manusia yang beruntung tahun ini,
hanya saja cara Allah lebih unik dan indah untuk dinikmati. Pasti ada hikmah
dari setiap ujian” begitu gumamnya dalam hati.
Jam
menunjukkan pukul 11.45 wib. Suara adzan dhuhur mulai berkumandang seolah
saling berlomba antar masjid ke masjid memanggil para kaum muslim untuk
menunaikan ibadah solat dhuhur. Bu Azmi, guru senior di sekolah Sovia mengajak
dirinya untuk pergi ke mushola sekolah untuk menunaikan solat. Sovia yang saat
itu tidak masuk kelas karena jam mapel agama pun mengiyakan ajakan Bu Azmi.
“Saya
lihat sepertinya Bu Sovia ko lesu, apakah Bu Sovia sakit? “ tanyanya seraya
menggandeng tangan Sovia kala itu.
“Tidak
Bu Azmi, saya baik-baik saja bu. Hanya saja memang seperti lagi lemes Bu,
heeee”
“Bu
Sovia puasa?” tanyanya kembali untuk yang kedua kalinya.
“Tidak
Bu” jawab Sovia singkat sambil tersenyum manis.
“Kita
solat yuk, kalau sudah solat hati kita akan tenang. Mau aktifitas apapun juga
tenang. Karena kewajiban kita sudah dilaksanakan. Tapi perlu kita ingat, solat
jangan dilakukan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Tapi lebih untuk
beribadah dan mendekat pada Allah” begitu pesan Bu Azmi pada Sovia, sosok ibu
yang usianya terpaut 20 tahun lebih diatasnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar